Iya, ini terinspirasi oleh post mas Arman Dhani di bawah soal pengalaman paling merendahkan yang dialami wanita di jalan. Membacanya saya sedih, duka sekali.
Hampir 5 tahun di Jakarta, saya tidak naik kereta, naik angkot pernah beberapa kali, naik Kopaja gres 2 kali. Iya sih naik TransJakarta dulu tapi bukan rutinitas (sesekali saja alasannya kost deket kantor). Jarang sekali jalan sendirian, niscaya bersama sahabat alasannya saya penakut.
Saya juga pernah mau pergi les berdua dengan sahabat saya, wanita juga. Turun dari angkot, saya dan sahabat saya masih harus berjalan sekitar 500 meter menuju tempat les. Padahal jalan ramai, tiba-tiba kami "dikepung" oleh mungkin sekitar 10 - 15 anak Sekolah Menengan Atas lain. Kami tidak kenal mereka, mereka bukan siswa tempat les kami.
Semua laki-laki. Mereka tidak menyentuh namun mereka berjalan bersama kami dan tertawa-tawa mengintimidasi. Mengobrol seolah kami tidak ada di tengah-tengah mereka.
Mereka benar-benar ada di sekeliling, jalan cepat pun tidak sanggup alasannya beberapa orang sengaja berjalan lambat sangat bersahabat di depan kami. Pasrah, mau berlari pun sudah lemas duluan. Saya dan sahabat saya saling menggandeng tangan kuat-kuat alasannya sungguh takut sekali. Takut salah satu di antara kami ditarik pergi. 😣
Tapi menjelang tempat les yang sangat sangat ramai dan banyak orang yang kami kenal, mereka perlahan menjauh. Sampai jadinya tau-tau kami berjalan berdua lagi. Teman saya sudah hampir menangis, saya pun shock berat alasannya tidak sanggup mencerna tadi itu maksudnya apa. Kenapa kami diperlakukan menyerupai itu?
Bertahun-tahun kemudian saya gres sadar bahwa oh mungkin mereka hanya iseng. Melihat dua wanita berjalan kemudian ingin menunjukkan power, ingin mengintimidasi. Entah apa yang didapat dengan melaksanakan hal tersebut. Bangga mungkin? Senang? 😕
Makara yah, pengalaman saya direndahkan di jalan sudah usang terjadinya. Karena kebetulan kawasan rumah saya kini Islami sekali. Ada yang nongkrong di warung tapi berbaju koko dan sarung, sekadar mampir pulang salat di mesjid. Panitia 17 Agustusan pun dress code-nya tetap baju koko. Makara jikalau jalan sendirian, tidak ada yang catcalling juga.
Saya juga bertanya pada JG dan berdiskusi soal point of view beliau soal catcalling ini. Pertanyaan saya yang paling utama "kenapa harus suit-suitin cewek sih?". Kata JG "nggak tau ya, saya nggak pernah suit-suitin cewek di jalan tapi mungkin alasannya mereka menganggap cewek yang lewat itu cantik."
Kemudian saya sebel banget alasannya masa alasannya anggun doang sih! Dan JG tetep beropini "serius deh, jikalau nggak dianggap anggun nggak akan dipanggil-panggil kok."
Duh tapi alasan "cantik" itu sungguh sangat sialan sekali alasannya anggun kan persoalan selera. Kalau itu alasannya pantas saja apapun bajunya, terbuka atau tidak, disuit-suitin mah tetep ya kan? Pantes jilbab sudah lebar, baju sudah longgar pun tetap disuit-suitin "assalamualaikum bu haji". ðŸ˜
Ada juga yang beralasan "ceweknya yang minta disuit-suitin" what! Itu serendah-rendahnya pria banget, beranggapan mereka sedemikian gampang tergodanya hanya alasannya itu cewek dianggap cantik? Dan mereka berharap itu cewek gembira gitu disuit-suitin? Rendah sekali harga perempuan!
Makara harus bagaimana? Apa wanita harus menutup diri hingga wajah? NO! Laki-laki yang harus diajari menghargai perempuan.
Mungkin ini jadi terdengar klise alasannya aneka macam yang bilang demikian kan, tapi memang benar! Kita terlalu sibuk meminta anak wanita kita menjaga diri hingga lupa bahwa anak pria kita harus diajari untuk menjaga perempuan. Untuk menghargainya, untuk tidak pernah merendahkannya.
Saya sendiri merasa demikian, mungkin alasannya stigma yang terlalu besar lengan berkuasa menempel saya sering sekali berpikir "kayanya jikalau anak gue cewek, gue sanggup jantungan, untung anak gue laki." Karena saya berpikir jalanan sungguh tidak kondusif untuk perempuan.
Padahal punya anak laki-laki, peer besarnya yakni bagaimana beliau sanggup mengerti kiprahnya sebagai pria dan ini harus ditanamkan semenjak kecil. Bahwa tidak main bergairah dengan ibu, tapi boleh dengan appa. (main bergairah = gulat atau tindih-tindihan).
(Baca: Mengajarkan Gender pada Balita)
Yang paling penting juga adalah, bagaimana nanti Bebe harus melihat wanita equally. Dia dilarang melihat wanita sebagai kaum kelas dua yang kerjanya hanya masak di rumah. Dia harus sanggup masak, harus sanggup melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dulu selalu disebut sebagai "pekerjaan perempuan".
Cara terbaiknya yakni dengan memberi contoh. Sampai kini Bebe mengasosiasikan masak dan ke pasar itu yakni kiprah appa, bukan ibu. Dia tau ibu sanggup masak alasannya sering main masak-masakan sama saya tapi jikalau ada orang masak beliau selalu bilang "masak menyerupai appa". Itu pola yang paling kecil sekali.
Berikut-berikutnya ya saya selalu menekankan hal-hal apa yang dilarang dilakukan pada perempuan. Selalu saya tes dengan nama teman-temannya di daycare, apakah si A perempuan? Apakah si B laki-laki? Dia mulai sanggup membedakan bahwa teman-temannya yang pria lebih suka lari-lari sementara temannya yang wanita lebih suka memeluk boneka. Hal-hal menyerupai itu.
Mengapa dari usia sekecil ini? Karena saya takut terlambat. Berita anak SD sudah mengerti memperkosa menyerupai itu sama sekali tidak masuk pada budi saya, tapi itu terang jadi alarm bahwa tidak perlu menunggu usia tertentu untuk mengajari anak pria menghargai anak perempuan.
(Baca: How are we gonna raise our kids?)
Kembali ke catcalling, sungguh saya tidak melihat solusi instan dan urusan ini. Pendidikan harus merata, pengangguran harus diberantas jadi tidak banyak yang nongkrong tidak terang di pinggir jalan. Pendekatan agama juga seharusnya sanggup menjaga.
Katanya sanggup dilaporkan ke polisi, oh tentu lapor saja sih bisa. Ditindaklanjuti tidak? Belum tentu, lha wong kecopetan atau kemalingan di tempat kos aja entah tidak lanjutnya bagaimana. Apalagi catcalling, dianggap serendah-rendahnya harassment. But still, it's a harassment.
Kita harus bagaimana? Ada yang punya ide? Atau ada yang mau bercerita pengalaman catcalling juga? Komen di bawah yaaa.
-ast-
BTW Nahla lagi ikut competition. Dia bikin video soal bagaimana hidupnya harus sanggup di-switch jadi 6 peran. NONTON YA! Makasih banget jikalau sekalian mau like, komen, dan share!
0 komentar:
Posting Komentar