Perumahan kayana 2 bekasi | kayana 2 residence | perumahan kayana 2

Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murah ini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Minggu, 03 Juli 2016




Di ujung jalan itu, jalan kecil dan pendek yang menyambungkan Jalan Palmerah Barat dan jalan satunya. Entah jalan apa namanya, jalan di samping rel kereta menuju Pejompongan. Jalan itu hanya sepanjang sekitar 100 meter, memberi nafas pada dua kemacetan. Kemacetan menuju Slipi dan kemacetan menuju Semanggi.

Kadang kedua jalan itu macet, kadang hanya salah satunya. Jalan kecil itu memberi pilihan, akankah nekat menembus macet menuju Slipi? Atau belok ke jalan kecil itu berharap jalan menuju Pejompongan lancar jaya dan tidak terhambat kereta?

Jalan itu saya lewati setiap hari. Di kedua ujungnya ada penjaga, di ujung Palmerah dikuasai satu geng (yang penampilannya seperti) "preman". Berempat atau berlima mereka "mengatur" kemudian lintas orang yang keluar masuk jalan. Berharap koin-koin dari kendaraan beroda empat yang merasa terbantu, yang merasa berutang kebijaksanaan alasannya ialah belok di tengah macet itu memang sulit sekali.

Satu geng itu team work-nya patut diberi bonus tahunan, jikalau saja mereka bekerja kantoran. Mereka memang membantu. Memberi rupiah pun rasanya tidak sia-sia. Sesekali mereka bergantian menjaga dan beristirahat dengan nongkrong di kios kecil di pinggir jalan. Mereka berkoordinasi supaya semua kendaraan beroda empat dan motor yang akan masuk gang bisa melaju tanpa menciptakan kemacetan baru. Saku celana mereka selalu terlihat penuh dan berat, berisi koin-koin ucapan terima kasih.

Sebaliknya dengan penjaga ujung jalan satunya.

Ia tak punya geng, ia bahkan tampaknya tidak punya teman. Seorang pria yang wajahnya tampak lebih renta dari usianya. Kurus kering, kulitnya hitam legam, bahunya agak bungkuk. Terlihat helai-helai rambut putih di sela-sela rambut hitamnya yang ikal berminyak. Tak menyerupai rekan satu profesi di sudut satunya, ia membawa peluit. Saku celana katunnya tidak pernah tampak penuh. Ada alasannya.

Peluit modalnya itu selalu ia tiup asal-asalan. Tidak terang meniup pada siapa dan fungsinya untuk apa. Ia terus meniup dengan tangan membentuk dua kode: melaju atau berhenti. Ia sia-sia, ia sama sekali tidak membantu, malah kadang menghalangi. Seringnya ia lah yang menciptakan kemacetan gres alasannya ialah ia terlalu gundah untuk memutuskan, siapa yang harus lebih dulu melaju. Atau ia berdiri terlalu di tengah jalan yang sudah sempit itu. Duh.

Suatu hari ia "bekerja" dengan kain jarik melingkari badannya. Membawa anak berusia 4 tahunan. Anak ini tidak tertidur menyerupai bawah umur pengemis yang katanya diberi obat tidur. Anak ini bangun, melirik ke kanan kiri melihat keramaian jalan.

Hari lainnya ada seorang wanita yang menggendong anak pria itu, dengan kain jarik yang sama. Duduk di teras sebuah bangunan ujung jalan itu yang ternyata posyandu. Ratusan kali melewati jalan itu saya jadinya menduga satu hal: mereka satu keluarga dan mereka tidak punya kawasan tinggal. Mereka tampaknya tinggal di bangunan posyandu itu.

Dan jelaslah sang kepala keluarga tidak punya pekerjaan yang jelas. Ya, menjadi Pak Ogah tentu bukanlah pekerjaan. Bahkan huruf Pak Ogah yang bahu-membahu pun diceritakan sebagai pemalas dan tak punya pekerjaan kan?

Kemudian saya berusaha berpikir positif. Mungkin ia tidak bekerja alasannya ialah ini, alasannya ialah itu. Tapi gagal. Selalu yang muncul ialah aliran sebaliknya.

"Masih muda kok pemalas."

"Pasti malas cari kerja."

atau

"Pasti jikalau pun diberi pekerjaan, ia tak mau."

Dan pasti-pasti lainnya yang seluruhnya murni dugaan negatif belaka. Padahal satu hal yang pasti, ia ialah sebagian sangat kecil dari orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta.

Seperti tukang tambal ban di sudut Palmerah yang lain. Kiosnya sangat kecil. Satu kali ketika pergi agak siang, saya melihat ia mencuci muka dengan bejana besar di pinggir jalan. Di sisi selokan. Saya bertanya-tanya, tak punya rumah kah?

Kali lainnya pertanyaan itu terjawab alasannya ialah setiap kami pergi agak pagi atau pulang larut malam, ia sudah tidur. Tidur di halte bis persis di sebelah kios tambal bannya.

Ada pula kios lainnya. Di erat kawasan makan Lapo paling populer se-Jakarta. Sebuah kios sempit ditempati satu keluarga dengan anak balita. Anaknya makan apa? Makan nasi atau makan bubur? Tahukah ia jikalau ibu-ibu lain di kota yang sama bisa bertengkar hanya alasannya ialah gula dan garam?

Kemudian ada satu ibu. Pakaiannya dinasnya ialah kebaya batik kutubaru lusuh dengan kain bawahan yang tak kalah lusuhnya. Ia hanya muncul di malam hari, bersama anaknya yang berusia sekitar 10 tahunan. Keduanya tidur di trotoar gelap, di jalan sempit kemandoran.

Saya menduga ia memang bersembunyi dan tak mau terlalu terlihat orang banyak. Mengapa tak tidur di emperan toko menyerupai para tunawisma lainnya? Tak bisakah ia menemukan posyandu untuk ditempati? Tak bisakah ia membuka kios supaya minimal ada kawasan bernaung ketika hujan?

Yang terang hanya satu hal, mereka punya kesamaan, sebagai orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta.

Seperti juga para kuli bangunan yang bekerja sangat cepat membangun gedung-gedung bertingkat. Berkutat dengan pasir dan semen dan diingatkan artinya hidup dengan spanduk keamanan kerja terbentang di rangka gedung yang sudah setengah jadi. Spanduk putih yang berbunyi "Ingat keluarga menunggu di rumah". Kepala tertutup helm proyek, rompi orange menyala, dan sepatu bot yang penuh kotoran. Tidur di halaman proyek, di bangunan seng yang mereka dirikan sendiri.

Juga menyerupai kaum pekerja yang berdesakkan di commuter line dan TransJakarta. Seperti para motoris yang berbalut jaket tebal, menembus panas dan jalan luas yang tetap saja pengap. Seperti kaum yang lebih bisa yang mengeluhkan macet pada supir kendaraan beroda empat pribadinya, pada supir kendaraan beroda empat eksklusif anaknya yang bahkan gres masuk TK. Seperti kaum yang lebih lebih bisa yang rela merogoh kocek untuk bepergian dengan helikopter di Jakarta. Mendarat dari satu helipad mall ke helipad lainnya.

Mereka yang berlimpahan harta dan mereka yang hanya bermodal peluk keluarga. Semua berlari berdampingan di kota ini, demi mengisi perut yang lapar dan keinginan yang bahkan tak semuanya nyata. Cita-cita yang jadi menyerupai semu, dibaurkan lelah penat keringat. Uang-uang yang menguap entah jadi apa.

Kaprikornus asap dan debu rokok tukang bajaj. Kaprikornus makan di restoran setiap minggu. Kaprikornus berkoper-koper belanja ketika pesta diskon di mall, meski itu bisa menghabiskan hampir seluruh penghasilan. Dihabiskan sia-sia dan menguapkan keinginan alasannya ialah itu yang menciptakan lelah penat sedikit terusap. Kaprikornus modal tenaga gres untuk berlari kembali memacu diri.

Demi bertahan hidup di Jakarta.

"After of all of the darkness and sadness. Soon comes happiness," -- Destiny's Child

We are survivor. We keep on surviving.

-ast-

0 komentar:

Posting Komentar