Perumahan kayana 2 bekasi | kayana 2 residence | perumahan kayana 2

Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murah ini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Rabu, 22 Juni 2016


Suatu hari di sebuah toko donat.

Saya ke JG: “Kamu mau yang mana?”

JG: “Mmmmm” *mikir*

Saya ke Bebe: “Bebe mau yang mana?”

Bebe: *lari-lari di depan etalasenya dan menunjuk dua macam donat* “Mau ini, mau ini.”

Saya ke JG: “Kamu?”

JG: “Mmmmm” *mikirnya usang alasannya yakni nggak tau mau yang mana* “Sh*t, kok Bebe tau apa yang beliau mau dan saya engga?”

Separah itu. Separah itu JG nggak bisa ambil keputusan. We discuss everything, yes, but most of the time it’s me who decide.

JG aka suami saya yakni orang yang nggak bisa ambil keputusan spontan. Mau beli yang mana? Mau makan di mana? Mau pergi ke mana? Mampir makan malem dulu atau makan di rumah?

Pasti mikirnya lama. Makin sini makin membaik banget, udah jauh dibanding dulu pas pertama kali pacaran tahun 2011. Dulu parah banget hingga mau ngapain pun telepon saya dulu. Sebelum makan siang nelepon dulu “aku makan apa sekarang?”. Sekarang kadang masih kaya gitu jikalau saya tinggal event dan JG berdua Bebe “aku jajan apa dong sayang?” LHA.

Tapi kini udah tidak mengecewakan bisa ambil keputusan sendiri alasannya yakni ya sayanya juga suka balikin. Apa dong? Maunya apa? Apa aja deh! Kaprikornus kini udah pede ngambil keputusan sendiri. Dulu misal saya minta tolong untuk beli biskuit A, biskuit A nggak ada. Orang yang bisa mengambil keputusan sendiri akan memutuskan 2 hal:

1. Pulang nggak bawa biskuit
2. Ambil biskuit lain yang sejenis

Yang JG lakukan yakni telepon saya dan nanya mau diganti apa. Kalau saya nggak angkat telepon beliau akan marah-marah dan nunggu hingga saya angkat telepon. Yes, harus saya yang memutuskan alasannya yakni beliau terlalu galau untuk pilih biskuit lain dan nggak kepikiran jalan keluarnya apa.

Karena JG ibarat itu hasilnya kami setuju jikalau Bebe tidak boleh ibarat itu.

(Baca: Ini hal-hal penting yang jadi tujuan ketika saya membesarkan anak saya)


JG ibarat itu alasannya yakni semenjak kecil selalu diberi pilihan yang kondusif oleh orangtuanya. Selalu dipilihkan apa yang berdasarkan orangtuanya “terbaik”. Mau mainan apa tidak disuruh menentukan tapi eksklusif dibelikan. Mau sekolah di mana eksklusif dipilihkan. Anak-anak ibarat ini biasanya disayang orangtua alasannya yakni dianggap sebagai anak penurut dan baik. Padahal ia bukan baik, tapi ia tidak berani mengambil keputusan lain selain keputusan yang diambilkan orangtua alasannya yakni seumur hidupnya ia lalui ibarat itu.

Orangtuanya juga jenis orangtua yang selalu khawatir. Naik panjat-panjatan dihentikan alasannya yakni bahaya. Sekarang ia takut ketinggian dan mengaku semenjak kecil bahkan takut naik perosotan alasannya yakni disuruh selalu berhati-hati, ancaman katanya.

Ada juga teman saya yang hingga kini tidak bisa menyeberang jalan, tidak bisa masak alasannya yakni semenjak kecil selalu dibilang kompor yakni hal yang bahaya. Tidak bisa mengambil keputusan mau kerja atau kuliah lagi. Sejak kecil ia juga tidak pernah diberi pilihan.

Dan orang cukup umur yang ibarat ini banyak sekali. Gawat sih alasannya yakni ketika nggak bisa ambil keputusan untuk diri sendiri, bagaimana mau ambil keputusan untuk anak? Bagaimana bisa sukses dalam karier? *halah

Sementara ada bawah umur kaya saya. Yang semenjak kecil selalu diberi pilihan. Yang selalu ditanya maunya apa, sukanya apa, ingin yang mana. Yang sudah punya 3 jahitan di dahi di umur 3,5 tahun alasannya yakni masuk selokan. Saya tumbuh jadi orang yang percaya diri tapi … berantem terus sama orangtua saya ketika remaja hahahaha.

Iyalah, seumur hidup selalu disuruh memilih, ketika remaja saya nggak terima banyak dilarang. Saya pilih semuanya sendiri. Yes or no untuk jurusan sekolah, untuk jurusan kuliah, untuk kerja atau nganggur, untuk ngapain pun, itu yakni keputusan saya.

Bagaimana cara semoga anak bisa jadi pengambil keputusan yang baik?


Beri pilihan

Sesimpel: mau susu coklat atau stroberi? Mau mainan yang mana untuk dibawa mandi? Ini keputusan paling sederhana untuk balita. Dan jikalau sudah memilih, biarkan beliau mengambil pilihannya. Jangan memaksa! Ngapain maksa anak kecil sih? Hal paling penting apa yang akan beliau lakukan hingga kita harus paksa beliau pakai jas ke kawinan padahal beliau maunya pake kaos? Malu? Nggak pakai baju ke luar rumah itu malu.

Kecuali anaknya artis dan beliau nggak mau pake baju yang klien minta ya. *sigh*

Jangan banyak dilarang


Kecuali sangat sangat ancaman ibarat geletakan di tengah jalan raya, kami hampir tidak pernah melarang Bebe melaksanakan apapun. Asal tidak melanggar aturan sih silakan. Main perosotan naik dari perosotannya (bukan dari tangga) boleh, asal tidak menganggu anak lain. Mau nyeker di mall boleh, asal tidak menganggu orang lain.


(Baca: Saya tetap memakai kata “jangan” untuk anak saya)


Risiko tidak banyak dihentikan ini yakni pengawasannya harus ekstra. Banyak orangtua yang sudahlah anaknya dihentikan main ayunan aja daripada main terus jatuh? Loh ya jikalau saya sih main ayunan aja ya tapi diawasi 100%.

Beri tanggung jawab


Anak umur 2 tahun bisa diberi tanggung jawab apa? Membereskan mainan sendiri, membuang sampah ke tempatnya, mengepel air yang tumpah, menyapu lantai yang kena serbuk biskuit dia, membawakan minum untuk ibu. Banyak sih.

Dengan meminta tolong pada anak, ia jadi merasa dihargai dan dibutuhkan. Makanya paling semangat Bebe jikalau saya atau JG udah bilang “bebe tolong dong …” Pasti beliau sumringah. Meskipun namanya bayi ya, kadang nolak juga. Ya jikalau nggak mau jangan dipaksa.

Beri pujian

Kalau sudah diberi tanggung jawab, beri pujian. Hebat atau berakal sudah cukup. Bebe hingga pada level memuji diri sendiri jikalau berhasil melaksanakan sesuatu “ibu alo berakal ibu”.

Hahahaha.

Ada orangtua yang menghindari kebanggaan alasannya yakni takut anaknya cepat puas. Go ahead. Kalau percaya dengan contoh ibarat itu sih silakan. Saya sih percaya, anak dua tahun mau mengepel lantai sendiri alasannya yakni minumnya tumpah itu layak disebut “hebat” alasannya yakni beliau berani bertanggungjawab atas perilakunya sendiri.

Beri pengertian wacana rasa kecewa


Ini penting banget. Karena JG hidupnya sangat smooth, beliau tidak siap dengan rasa kecewa. Kalau saya ikut lomba dan kalah, yang kecewa dia, yang murung dia. Karena seumur hidup orangtuanya tidak pernah mau mengecewakan dia, jadi tidak tau rasanya dikecewakan.

Bebe kini boleh kecewa. Kalau beliau ingin ikut menyetir ketika kendaraan beroda empat sedang jalan, biar Bebe nangis dan beritahu jikalau itu namanya kecewa. Tidak semua hal yang ingin Bebe lakukan, boleh dilakukan. Bebe hanya boleh main setir-setiran ketika kendaraan beroda empat sedang parkir, bukan sedang berjalan.

Atau beliau ingin nonton padahal sudah malam. Silakan nangis dan beritahu jikalau Bebe kecewa alasannya yakni tidak boleh nonton lagi, tapi Bebe hanya boleh nonton jam sekian dan jam sekian.

*

Susah? Nggak sih. Cuma namanya membesarkan anak mah ya harus satu bunyi sama suami. Semua akan lebih gampang jikalau satu suara.

Susah nggak punya suami yang nggak bisa ambil keputusan? Nggak juga. Karena saya suka mengambil keputusan. Saya bahagia jadi decision maker. Malah suka melamun kini jikalau JG tiba-tiba ambil keputusan sendiri, i’ll be like: “Seriously? Don’t you need my opinion anymore?” Tapi ngomongnya dalam hati.

Hahaha

See you!

-ast-

Disclaimer:

Setelah menulis ini, sebelum dipublish tentu saya kasih dulu pada suami untuk beliau baca dan minta izinnya. "Because too much 'you' in it, I said". Dia baiklah dan tidak problem sama sekali. Juga saya tidak menganggap ketidakmampuannya mengambil keputusan yakni sebuah kekurangan.

Malah saya bahagia alasannya yakni ia jadi bisa menyeimbangkan saya yang memang cenderung bahagia berpikir dan mengambil keputusan. Kalau suami saya juga tipe decision maker, maka kami akan banyak berantem niscaya alasannya yakni akan banyak ngotot-ngototan.

Untuk problem "aib orangtua suami" alias mertua. kami juga sudah sering sekali membicarakan problem ini dengan mereka. Dan saya sama sekali tidak menyalahkan mereka alasannya yakni memanjakan anak dan cucunya. Membesarkan anak yakni pilihan. Pilihan mereka ibarat itu, pilihan saya dan JG ibarat ini. Mertua juga sadar benar bahwa mereka terlalu memanjakan bawah umur dan cucunya. Kaprikornus jikalau mau judge saya membuatkan malu suami atau mertua it's ok. I have a really good relationship and  feel very comfortable around them so I have no worries writing this post.


Thank you!

0 komentar:

Posting Komentar